Monday 5 December 2016

Kisah Sejati: Buah Pengorbanan Untuk Ibu


Kasih sayang Ibu tidak akan pernah padam oleh apapun


Sebagai orang yang bekerja di Koperasi Keuangan Syari’ah, gaji Rp. 700.000 per bulan pada tahun 2002 boleh dikatakan pas-pasan untuk kehidupan kami di Jakarta. Jangankan untuk makan, waktu itu kami (saya, istri, anak saya kelas 3 SD, playgroup dan bayi) masih mengontrak rumah untuk tempat tinggal. Meskipun begitu, keinginan saya untuk menyambangi rumah Allah di Tanah Suci sekaligus menunaikan rukun Islam yang kelima itu sangatlah besar.

Alhamdulillah …saya dikaruniai istri yang begitu solehah. Ia sangat mendukung keinginan saya tersebut. Ia tahu kondisi kami yang serba pas-pasan. Melalui pertimbangan yang bijaksana, istri saya berbangga hati merelakan jika hanya saya seorang yang berangkat. Lantas untuk melancarkan niat saya tersebut, saya berencana akan membuka rekening tabungan haji sebesar Rp. 500.000,- per bulan yang dimulai dengan mengambil momentum buka rekening di Bulan Haji tahun 2002.

Namun seminggu sebelum bulan Dzulhijjah datang, sehembus angin mengingatkan saya bahwa betapa ibu (yang saat ini sudah menghadap Illahi) belum pernah sekalipun melaksanakan ibadah kurban. Semua ini dikarenakan kemiskinan yang kami alami. Kami harus sabar menerima semua ketetapan yang Allah berikan dengan ikhlas.

Mengingat itu, saya kembali menimang-nimang antara keputusan saya membuka saldo awal tabungan haji atau memakai uang tersebut untuk berkurban atas nama ibu. Dan pilihan ada pada opsi kedua. Ya, saya memutuskan untuk berkurban. Demi ibu. 

Akhirnya, tiga hari sebelum lebaran saya pulang ke kampung halaman di Tegal. Saya mencari kambing yang bagus, yang saat itu harganya Rp. 700.000,-. Satu bulan gaji saya. Sesudah mendapat kambing yang bagus, saya serahkan ke panita kurban di desa.

Hari yang dinanti tiba. Dengan kedua mata saya, saya menyaksikan detik-detik kambing itu disembelih. Seiring darah yang mengalir dari leher kambing kurban, mengalir pula kristal bening dari mata saya yang buru-buru saya seka karena banyak mata menyaksikan prosesi sakral tersebut. Bangga dan haru bersembunyi dibalik tangis saya yang tertahan.

“Ya Allah, terimalah kurban hamba atas nama ibunda hamba, Djanatin binti Wabdlo. Catat hamba sebagai anak saleh di sisi-Mu, anak yang berbakti kepada orang tua. Aamiin.”

Malam harinya, saya kembali ke Jakarta naik bus. Saya duduk di pinggir jendela. Melihat ke arah luar, melihat kepada pekat malam yang mengerubungi semesta, melihat kepada pepohonan dan benda yang bergerak seolah berlarian, pikiran saya menerawang jauh pada peristiwa pemotongan hewan kurban tadi. Seraya berharap bahwa Allah benar-benar mencatat saya sebagai anak soleh yang berbakti. 

Hingga di satu titik, terbesit rasa sesal. Entah dari mana datangnya pemikiran seperti itu. Mengingat keinginan saya ke Tanah Suci, mengingat uang Rp. 700.00,- yang saya gunakan untuk membeli kambing, mengingat sebenarnya untuk tersebut digunakan untuk membuka saldo awal tabungan haji, air mata kembali membanjiri pipi. Saya menangis di bus. 

Pertanyaan seputar ‘mengapa uangnya dipakai kurban, bukannya untuk saldo awal tabungan haji’ berkecamuk meraja tiap sudut benak menjadikannya penyesalan yang menohok hati. Saya benar-benar sedih dan bimbang. Ketakutan bahwa nantinya saya tidak semangat lagi menabung karena momentum Bulan Haji kali itu uangnya dipakai untuk kurban. Padahal saya ingin sekali menjadikan bulan tersebut sebagai  awal yang baik untuk melancarkan niat saya menunaikan rukum Islam yang kelima itu.

Seiring berjalannya waktu, pikiran picik seperti itu berhasil ditepis. Pikiran-pikiran negatif, saya ubah ke hal positif. Toh saya juga berpikir, kurban tersebut adalah bukti bakti kepada Alm. Ibu. Kapan lagi bisa berbakti kepada wanita yang sudah melahirkan ke dunia kalau tidak sekarang. Menunda-nunda sesuatu itu tidak baik. Belum tentu pula kesempatan akan datang kedua kalinya. Urusan haji, saya berpikir untuk memulai menabung di bulan berikutnya. Biidznillah, saya pun mengawali membuka saldo tabungan haji saya.
***
Bukti kekuasaan Allah bagi umatNya memang luar biasa. Segala hal yang sudah Ia tetapkan memang di luar penalaran akal seorang manusia. Setelah penyesalan yang berujung pada penerimaan itu, Allah benar-benar membantu saya. Saya tidak hanya bisa rutin menabung di tabungan haji, bahkan di tahun 2003, saya benar-benar bisa berkurban menggunakan uang hasil keringat saya sendiri.

Di tahun 2004, derai ucapan hamdalah tak henti saya bumbungkan ke langit. Akhirnya, Allah memanggil saya agar lebih mendekat lagi. Tanah Suci akan segera saya pijak. Ka’bah akan segera saya datangi. Bahkan, hingga detik ini saya bisa berkurban setiap tahunnya. Hingga cerita ini saya kucurkan, saya yakin bahwa keberhasilan yang saya rasakan ini ada campur tangan doa ibu yang tak hentinya mengalir. Kendati sekarang ibu sudah tiada, dengan cara inilah saya bisa membalas segala kebaikan dan kemurahan yang telah ibu berikan semasa hidupnya untuk saya. (Riana Dewi)


****
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Berita Indonesia, koran lokal berbahasa Indonesia terbit di Hong Kong, edisi Desember 2016

 

No comments:

Post a Comment