![]() |
Kasih sayang Ibu tidak akan pernah padam oleh apapun |
Sebagai
orang yang bekerja di Koperasi Keuangan Syari’ah, gaji Rp. 700.000 per bulan
pada tahun 2002 boleh dikatakan pas-pasan untuk kehidupan kami di Jakarta. Jangankan
untuk makan, waktu itu kami (saya, istri, anak saya kelas 3 SD, playgroup dan
bayi) masih mengontrak rumah untuk tempat tinggal. Meskipun begitu, keinginan
saya untuk menyambangi rumah Allah di Tanah Suci sekaligus menunaikan rukun
Islam yang kelima itu sangatlah besar.
Alhamdulillah
…saya dikaruniai istri yang begitu solehah. Ia sangat mendukung keinginan saya
tersebut. Ia tahu kondisi kami yang serba pas-pasan. Melalui pertimbangan yang
bijaksana, istri saya berbangga hati merelakan jika hanya saya seorang yang
berangkat. Lantas untuk melancarkan niat saya tersebut, saya berencana akan
membuka rekening tabungan haji sebesar Rp. 500.000,- per bulan yang dimulai
dengan mengambil momentum buka rekening di Bulan Haji tahun 2002.
Namun
seminggu sebelum bulan Dzulhijjah datang, sehembus angin mengingatkan saya
bahwa betapa ibu (yang saat ini sudah menghadap Illahi) belum pernah sekalipun
melaksanakan ibadah kurban. Semua ini dikarenakan kemiskinan yang kami alami.
Kami harus sabar menerima semua ketetapan yang Allah berikan dengan ikhlas.
Mengingat
itu, saya kembali menimang-nimang antara keputusan saya membuka saldo awal
tabungan haji atau memakai uang tersebut untuk berkurban atas nama ibu. Dan
pilihan ada pada opsi kedua. Ya, saya memutuskan untuk berkurban. Demi ibu.
Akhirnya,
tiga hari sebelum lebaran saya pulang ke kampung halaman di Tegal. Saya mencari
kambing yang bagus, yang saat itu harganya Rp. 700.000,-. Satu bulan gaji saya.
Sesudah mendapat kambing yang bagus, saya serahkan ke panita kurban di desa.
Hari
yang dinanti tiba. Dengan kedua mata saya, saya menyaksikan detik-detik kambing
itu disembelih. Seiring darah yang mengalir dari leher kambing kurban, mengalir
pula kristal bening dari mata saya yang buru-buru saya seka karena banyak mata
menyaksikan prosesi sakral tersebut. Bangga dan haru bersembunyi dibalik tangis
saya yang tertahan.
“Ya
Allah, terimalah kurban hamba atas nama ibunda hamba, Djanatin binti Wabdlo.
Catat hamba sebagai anak saleh di sisi-Mu, anak yang berbakti kepada orang tua.
Aamiin.”
Malam
harinya, saya kembali ke Jakarta naik bus. Saya duduk di pinggir jendela.
Melihat ke arah luar, melihat kepada pekat malam yang mengerubungi semesta,
melihat kepada pepohonan dan benda yang bergerak seolah berlarian, pikiran saya
menerawang jauh pada peristiwa pemotongan hewan kurban tadi. Seraya berharap
bahwa Allah benar-benar mencatat saya sebagai anak soleh yang berbakti.
Hingga
di satu titik, terbesit rasa sesal. Entah dari mana datangnya pemikiran seperti
itu. Mengingat keinginan saya ke Tanah Suci, mengingat uang Rp. 700.00,- yang
saya gunakan untuk membeli kambing, mengingat sebenarnya untuk tersebut
digunakan untuk membuka saldo awal tabungan haji, air mata kembali membanjiri
pipi. Saya menangis di bus.
Pertanyaan
seputar ‘mengapa uangnya dipakai kurban, bukannya untuk saldo awal tabungan
haji’ berkecamuk meraja tiap sudut benak menjadikannya penyesalan yang menohok
hati. Saya benar-benar sedih dan bimbang. Ketakutan bahwa nantinya saya tidak
semangat lagi menabung karena momentum Bulan Haji kali itu uangnya dipakai
untuk kurban. Padahal saya ingin sekali menjadikan bulan tersebut sebagai awal yang baik untuk melancarkan niat saya
menunaikan rukum Islam yang kelima itu.
Seiring
berjalannya waktu, pikiran picik seperti itu berhasil ditepis. Pikiran-pikiran
negatif, saya ubah ke hal positif. Toh saya juga berpikir, kurban tersebut
adalah bukti bakti kepada Alm. Ibu. Kapan lagi bisa berbakti kepada wanita yang
sudah melahirkan ke dunia kalau tidak sekarang. Menunda-nunda sesuatu itu tidak
baik. Belum tentu pula kesempatan akan datang kedua kalinya. Urusan haji, saya berpikir
untuk memulai menabung di bulan berikutnya. Biidznillah,
saya pun mengawali membuka saldo tabungan haji saya.
***
Bukti
kekuasaan Allah bagi umatNya memang luar biasa. Segala hal yang sudah Ia
tetapkan memang di luar penalaran akal seorang manusia. Setelah penyesalan yang
berujung pada penerimaan itu, Allah benar-benar membantu saya. Saya tidak hanya
bisa rutin menabung di tabungan haji, bahkan di tahun 2003, saya benar-benar
bisa berkurban menggunakan uang hasil keringat saya sendiri.
Di
tahun 2004, derai ucapan hamdalah tak
henti saya bumbungkan ke langit. Akhirnya, Allah memanggil saya agar lebih
mendekat lagi. Tanah Suci akan segera saya pijak. Ka’bah akan segera saya
datangi. Bahkan, hingga detik ini saya bisa berkurban setiap tahunnya. Hingga
cerita ini saya kucurkan, saya yakin bahwa keberhasilan yang saya rasakan ini
ada campur tangan doa ibu yang tak hentinya mengalir. Kendati sekarang ibu
sudah tiada, dengan cara inilah saya bisa membalas segala kebaikan dan
kemurahan yang telah ibu berikan semasa hidupnya untuk saya. (Riana Dewi)
****
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Berita Indonesia, koran lokal berbahasa Indonesia terbit di Hong Kong, edisi Desember 2016
No comments:
Post a Comment