Monday 23 May 2016

Kisah inspiratif: Harga Sebuah Kerinduan

Ini adalah karya pertama saya di Hong Kong yang diikutsertakan dalam lomba menulis kisah inspiratif yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena Hong Kong tahun 2012.
Alhamdulillah, suatu anugerah terindah yang Allah berikan sehingga atas izin-Nya, tulisan saya tersebut mendapat Juara 1. Berikut adalah karyanya:

Harga Sebuah Kerinduan
Oleh : Riana Dewi


Kubuka jendela balkon, nampak nuansa putih masih mendominasi langit, pun mentari tak menyembulkan sinarnya. Dingin. Yang ada adalah seruak kerinduan yang sejak dua tahun yang lalu, saat aku pertama kali menjejakkan kaki di tanah keterasingan, hingga sekarang, saat aku harus menuntaskan mimpi tuk hadapi realita, belum juga tersudahkan. Aku mengela napas lalu pelan aku buang kegelisahan yang selama beberapa hari terakhir ini menggalaui pikiranku, pembuat malam terasa panjang dan sebak.
Aku tatap kembali angkasa, satu persatu wajah menjelma indah di atas gumpalan awan. Senyum rekah dan binar mata mereka, akankah sama seperti saat terakhir kali aku tinggalkan mereka menuju Hong Kong? Hari ini, 11 Januari 2012, aku tunaikan janji. Janji di Januari yaitu bertandang sejenak ke kampung halaman untuk menemui mereka, keluargaku tercinta.

*
Diantara gemawan awan dan kerlip bebintang, malam itu aku melintasi langit. Bagai burung, aku melayang diangkasa raya. Menembus rembes sang waktu, bersenggama dengan rindu lalu sekejap saja, hati laksana tertukik saat pesawat yang aku tumpangi mendarat selamat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Nanar mata menatap sekeliling. Hawa panas meraupku. Serasa mimpi kembali. Padahal sekitar lima jam yang lalu aku masih berkutat dengan segala macam rutinitasku sebagai kungyan. Dan kini, aku berada di Indonesia, tanah kelahiranku.
Namun, tiba-tiba di tengah perjalanan...

“Maaf, Bu. Coba tunjukkan pasport ibu,” seorang petugas memakai baju seragam berwarna coklat yang tiba-tiba mendatangiku saat aku hendak melangkahkan kaki menuju pintu bertuliskan exit. Aku merogoh sesuatu ke dalam tas kecil yang tersangkut di tanganku lalu kutunjukkan benda itu ke petugas, pasport.
“Ibu salah jalan. Ke arah sana, ya,  Bu,” tangan kanannya menunjuk ke suatu arah.
Tanpa banyak tanya, aku langsung menuju ke arah yang ditunjukkan petugas tadi. Sampailah aku di sebuah lorong. Aku berdiri sejenak di sebuah tulisan “Selamat Datang Pahlawan Devisa.” Aku kulum senyum kemudian kulanjutkan kembali perjalananku. Dan sesampainya di ujung lorong...
“Ibu, mau kemana?” tanya salah satu petugas berseragam biru dengan badge di lengan bertuliskan BNP2TKI.
“Ini bukannya Terminal 2 ya, pak?” tanyaku balik setelah melihat kesibukan beberapa orang TKW, entah berasal dari negara mana sedang membeli kartu seluler. Bingung.
“Terminal 2 bukan di sini Ibu. Tapi kalau untuk para TKW emang harus berangkat dari sini menuju Terminal 4. Nah, ibu mau pulang, kan? Masukan dulu kopernya ke dalam bus, ya?” tawar petugas itu. Belum sempat aku menjawab iya atau tidak, salah seorang petugas lainnya membantu mengangkat koper beratku ke dalam bus yang akan membawa kami ke Terminal 4. Disana ada tempat aman dan terlindungi khusus para TKW, kata mereka.

Beberapa menit kemudian, bus yang membawaku beserta beberapa orang TKW lainnya keluar gerbang, menemus gelap malam. Ya, gelap karena ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 01.20 dini hari. Aku edarkan pandangan menyapu seluruh isi bus. Ada yang menangis ketika jaringan seluler membantu menyalurkan hasrat kerinduan mereka, ada yang bertukar pengalaman, ada yang terkantuk-kantuk sampai kepalanya kejedot ke tiang besi, lalu ada pula yang sibuk menghindar dari godaan petugas sedangkan aku, terpekur diam. ”Ada yang ga beres,” seru batinku.
*

Terbuktilah. Sesampainya di Terminal 4, aku dan TKW lainnya disuruh memasuki sebuah ruangan besar yang terdiri dari dua pintu yakni depan dan belakang serta berdinding kaca. Masing-masing pintu dijaga ketat oleh satpam-satpam yang dari tampang mereka terlihat mata duitan. Lantas, kami di suruh berdiri di belakang trolly, menunggu petugas mengambilkan satu persatu barang yang kami bawa.
Dua koper dan satu tas ransel besar diantar oleh petugas ke seorang ibu yang berdiri bersebelahan denganku. “Uang rokoknya mana, bu?” minta petugas itu terkesan memaksa. Tanpa berpikir banyak, uang pecahan dua puluh ribu terjulur gampang.
Alisku seketika mengernyit. Jarak koper dengan trolly hanya beberapa meter saja dan kami diharuskan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayarnya? Semahal itukah? Sedangkan kami baru saja tiba hanya mempunyai lembar mata uang negara asal kami bekerja. Akhirnya terpaksa menukarkannya di money changer terdekat. Membayangkan mereka meraup keuntungan dari hasil membawakan koper dengan jarak sangat dekat, tak hanya alis bahkan kepalaku berdenyut lebih kencang dari sekedar sakit kepala biasa yang sering menjangkitiku.
Giliran koperku diturunkan oleh salah seorang petugas. Dengan gerak cepat, aku mengambil koper milikku. Sambil menatap tajam ke arah petugas itu, aku pun berlalu menuju tempat pengechek-an pasport tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
“Silahkan beli tiket, Bu,” kata petugas setelah selesai mengecheck pasportku. Melihatku kebingungan, tangannya menunjuk ke sebuah loket pembelian tiket.
Wow...!!! Tarif ongkos travel yang sangat mencekik. Dan beruntung sekali aku dipinjami teman dari Hongkong untuk membawa simcard Indonesia miliknya sehingga aku bisa mengabarkan kondisi, keberadaan juga tragedi yang menimpaku saat itu ke keluarga yang sedang menanti kedatanganku di Terminal 2. Mengetahui hal ini, salah satu keluargaku memaksakan diri menyelinap masuk. Berunding dengan petugas. Namun setelah segala macam daya dan upaya telah dikerahkan, hasilnya tetap nihil. Mau tidak mau, aku diwajibkan membeli tiket travel. Dan lebih parahnya lagi, hanya untuk mendapatkan kartu tamu itu, keluarga yang menyelinap itu pun ditarif seratus ribu rupiah. Masya Allah...
Rasa penasaran yang menghantuiku, aku pun menanyakan kepada petugas mengenai Undang-Undang yang mewajibkan demikian, membeli tiket travel tanpa boleh adanya pihak keluarga yang menjemput. Kalaupun menjemput, keluarga dilarang membawa kami untuk ikut serta pulang bersama meski bukti otentik dinyatakan kami adalah sah keluarga mereka. Semuanya harus menggunakan jasa travel yang telah tersedia. Lagi-lagi terpaksa keluarga yang sudah jauh-jauh menjemput akhirnya pulang dan menunggu di rumah.
Mengingat alamat pasportku yang di Bandung, sudah pasti ratusan ribu harus aku keluarkan. Lama aku ber-lobby¬ dengan salah satu atasan mereka. Geram dengan ngeyelku akhirnya dibuatlah surat bahwa aku tidak berpulang ke alamat sesuai pasport melainkan ke keluarga yang letaknya tak jauh dari bandara. Dan mau gak mau, uang     Rp 140.000,-  harus aku keluarkan guna membungkam mulut para aparat sehingga masalah pun terselesaikan.
Eh, ternyata tidak. Setelah kami dipaksa membeli tiket dengan harga yang mencekik, harga sebotol air mineral dengan merek abal-abal pun bisa mencapai beberapa kali lipat dari harga aslinya. Dari jenis makanan, souvenir ecek-ecek sampai kartu telepon seluler di jual dengan harga tinggi. Sungguh mengenaskan andai manut begitu saja dengan hukum Indonesia yang berslogan manis namun berujung pada penderitaan berlapis akibat pemerasan terselubung tersebut.
Aku menyadari, keterbatasan mereka yang rata-rata adalah TKW Timur Tengah yang mayoritas berpendidikan dan berpengetahuan minim, peraturan yang sebenarnya mencekik itu tak mereka hiraukan. Asal bisa bertemu keluarga dengan selamat sudah lebih dari cukup. Selamat sampai tujuan setelah ratusan ribu bahkan jutaan keluar dari dompet lapuk. Ironis dan sungguh menyedihkan.
Aku membaca dan memahami ulang maksud Keputusan Pemerintah agar kami bisa pulang selamat ke pelukan keluarga masing-masing tanpa ada yang tercecer atau tersesat di perjalanan pulang. Namun yang tak kupahami, mengapa justru hal ini malah dijadikan cara lain untuk memeras kami yang sebelumnya di peras oleh sistem-sistem terselubung PPJTKI dan pemerintah yang mengatas namakan kebijakan.
Slogan-slogan yang bertebaran di sekeliling ruangan itu pun ternyata hanya bersifat penghias ruangan saja. Tanpa realisasi. Pahlawan devisa hanyalah slogan tak bermutu (bagi kami, namun bermutu bagi pemerintah).  Slogan “Dilarang Memberikan Uang Tips Kepada Petugas” pun hanya tulisan semata. Bullshit..!
Sudah nyata jelas di mataku, tak hanya satu petugas yang kerap meminta uang yang mereka sebut dengan “uang rokok”. Bahkan, ketika sang supir dan kernet yang membawa pulang, tak henti-hentinya meminta uang kepada kami. Padahal sampai rumah dengan selamat saja belum.
Kesal dengan perlakuan mereka, aku mengambil nota saat pembelian tiket dan segera aku tunjuk sebaris tulisan dan menyuruh supir itu membacanya. “Harga tersebut tanpa pungutan biaya lainnya.” Begitu tulisan di baris akhir nota itu.
“Baca. Jika mau lebih, minta kepada bapak yang sudah menandatangani kertas pembelian tiket ini. Bapak masih beruntung sudah saya kasih uang. Saya tak sebodoh seperti mereka, pak!” tandasku ketika aku sampai di depan rumah. Aku hanya mempertahankan jerih payah yang selama 2 tahun banting tulang, bekerja di Negeri Beton agar tak terbuang percuma dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum mata duitan. Tampaklah kekecewaan dan amarah di wajah mereka. Tapi kali ini, giliran mereka yang tak bisa berbuat apa-apa setelah keluarga dan warga sekitar berhambur menyambut kedatanganku dengan haru.
*

Ashalatukhairumminannaum...
Adzan subuh menggema membahanakan jagat raya. Mentari menyembulkan sinarnya perlahan-lahan walau sedikit malu tertutup awan. Setidaknya tak lagi dingin karena hangatnya keluarga menyelubungi resah diri menggantinya dengan suka cita. Air mata pun tak terbendung lagi. Mengalirlah ia membasahi pipi. Air mata yang kurun dua tahun itu, hanya menetes dan menetes tanpa tahu dimana muaranya. Di sinilah, di dekap hangat pelukan keluarga tersayang. Pelukan seorang ibu yang menanti sabar kedatangan anaknya, pelukan seorang pangeran kecil yang menunggu bundanya pulang membawa serta harapan-harapannya. Adalah di sini, rumah kita..!!!
**
Dedicated for My Mom and My Fab.
God bless both of you.