Wanita berwajah pasi itu berusaha
memanggil Yanita. Namun, suaranya yang parau kalah oleh deru mesin dan roda KRL
yang menggilas rel. Awalnya, wanita itu dengan Yanita berdiri berdekatan.
Naasnya, penumpang di KRL Depok Baru menuju Juanda itu membludak. Wanita itu
terpisahkan.
“Mbak …, mbak …,”panggil wanita itu
sekali lagi.
Kali ini, Yanita menoleh. Dengan
tangannya, ia mencoba memberi kode kepada Yanita yang terpaut 2 orang berbadan
jangkung. Tampak dari wajah Yanita gurat keterkejutan. Tak menunggu lama lagi,
ia merogoh saku jaketnya dan mengambil ponsel.
Yanita menekan sebuah nomor dan
menempelkan ponsel di telinganya. Dahinya mengerut, wajahnya berubah pucat.
***
“Besok kita ke Mandiri University
naik apa nih, Mbak?” tanya Riana kepada Yanita. Selama hampir 3 bulan sejak
Riana bekerja di Mandiri Amal Insani (MAI) Foundation, Mampang Prapatan, ia
harus pulang sendirian dan menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih agar
sampai ke rumahnya di Sawangan, Depok. Sejak ada Yanita yang tinggal di Cinere,
Riana seperti memiliki teman perjalanan.
Menjelang Ramadan, yayasan tempat di
mana Riana bekerja akan mengadakan berbagai macam kegiatan. Agar terjalin
koordinasi yang baik, maka sesama karyawan harus saling mengetahui tugas
masing-masing dan saling mendukung. Riana harus menghadiri Rapat Koordinasi
Ramadan tersebut di Mandiri University, besok. Riana yang belum genap setahun
kembali dari perantauan belum mengetahui jalanan Ibu Kota. Pantas saja jika ia
kebingungan dan mencari teman perjalanan.
“Naik KRL aja, yuk?!” ajak Yanita.
“Kalau naik KRL turun di mana?” tanya
Riana lagi.
“Turun di Juanda aja,” seloroh Devi,
masih rekan kerja di MAI Foundation.
“Okey, nanti besok aku ke rumah Mbak,
nanti kita bawa motor ke Stasiun Depok Baru, terus simpan di penitipan.”
Jadilah, pagi sekali Riana bangun
dari tidur lelapnya. Setelah pamitan kepada Mama dan Pangeran Kecil, deru motor
Riana membelah jalanan Sawangan yang masih terlelap.
Di kejauhan, Yanita sudah menunggu di
pinggir jalan. Ia mengenakan jilbab hitam dan jaket hijau kesayangan. Riana
mampir sebentar untuk bersalaman dengan ibunya Yanita. Setelahnya, mereka bergegas
menuju stasiun.
Ini pertama kalinya Riana naik KRL di
pagi hari pada jam kerja. Dulu, ia pernah sekali naik KRL menuju Pasar Minggu.
Tapi itu hari libur. Melihat penumpang berjejer di tempat penungguan KRL yang
membludak di hari kerja itu membuat Riana bergidik. Ia teringat saudaranya yang
harus naik KRL bolak balik tiap harinya menuju tempat.
Akhirnya, keduanya memasuki salah satu
gerbong. Riana tercenung. Padatnya Mass Transit Railway (MTR) yang pernah Riana
rasakan dulu di Hong Kong sungguh sangat berbeda jauh dengan apa yang ia
rasakan saat ini. Di antara penumpang, mereka berjubel-jubel, desak-desakkan.
Jangankan untuk menggerakan tangan, rasanya, untuk bernapas pun sulit. Saking
pikuknya.
KRL terus melaju dari satu stasiun ke
stasiun berikutnya. Penumpang ada yang datang dan ada yang pergi. Di satu
stasiun, Riana teringat kalau ia harus menghubungi temannya. Namun apa yang terjadi
berikutnya membuat wajah Riana pucat. Ponsel yang baru dibelinya empat bulan
yang lalu itu raib! Seseorang di dalam KRL telah mencurinya.
Serasa tertimpa beban berton-ton,
pundak Riana terkulai. Beberapa kali Yanita mencoba menghubungi nomor ponsel
Riana, namun yang terdengar adalah suara operator pertanda panggilan sudah
dialihkan. Riana mengedarkan pandangan ke sekeliling gerbong KRL. Berharap
pelaku pencurian itu masih di sana dan apabila melihat kegelisahan Riana, orang
tersebut akan berbaik hati mengembalikan ponsel miliknya. Namun itu tidak
mungkin.
“Kayaknya langsung dimatikan deh,
Mbak,” kata Yanita.
“Ya Allah, tega benar tuh pencuri.
Hape baru beli, tivi rusak, mana bulan depan aku harus bayar sewa kontrak rumah
lagi,” rutuk Riana lirih. Riana di keluarganya adalah tulang punggung. Maklum
saja jika sebuah keluhan keluar dari mulutnya.
Hening menjeda.
“Ada apa, Mbak?” Tetiba ada
bapak-bapak setengah baya menghampiri.
“Hape dia ilang, Pak,” jawab Yanita.
“Duh. Kalau di KRL itu harus hati-hati,
Mbak. Benda berharga itu ditaruh di tas depan. Nih, kayak bapak,” nasihat bapak
itu sambil mempraktikkan dengan ponselnya.
“Ya, bagaimana lagi,” jawab Riana
singkat.
“Coba mana sini nomor hapenya? Mau
saya coba,” lanjut bapak itu.
Riana menyebutkan beberapa angka.
“Wah, sudah tidak aktif nih, Mbak,”
katanya lagi. “Lain kali hati-hati.”
Percakapan terhenti. Seseorang
menawarkan kursi kepada Riana. Wanita itu terduduk lesu. Di dalam otaknya, ia
berusaha mengkalkulasikan pendapatan dan pengeluarannya, mengira-ngira, apakah
ada dana lebih untuk memberi ponsel baru. Riana menghembuskan napas berat.
Sepertinya tidak ada, batinnya.
Sejujurnya, saat itu juga Riana ingin
menjerit, ingin menangis. Ia membeli ponsel itu sengaja untuk mempermudah
pekerjaannya di tempat baru. Ia membutuhkan ponsel sebagai jejaringnya. Dengan
hilangnya ponsel itu, kemana lagi Riana harus mencari kelebihan uang untuk
membeli ponsel yang baru? Bagaimana dengan koneksinya?
“Masih kepikiran?” Di tengah
kerisauan itu, bapak setengah baya yang tadi menawarkan bantuan kembali
bertanya.
“Bagaimana gak kepikiran, Pak, hape
itu baru empat bulan yang lalu saya beli,” Riana mengulangi rutukkan yang tadi.
“Saya minta nomor hape mbaknya,
dong,” ucapnya ke Yanita. “Biar nanti kalau ada rizki, saya bisa transfer
sejumlah uang ke rekening mbaknya,” ucapnya lagi.
Kedua mata mereka bertemu, saling
menanyakan. Pada akhirnya, Yanita memberikan nomor ponselnya kepada bapak setengah baya yang diketahui bernama Sutarno itu.
Melalui pengeras suara, terdengar
operator memberitahukan bahwa stasiun Tanah Abang akan segera tiba. Karena
salah rute, Riana dan Yanita tidak jadi turun di stasiun Juanda dan memilih
turun di Tanah Abang saja.
Dengan perasaan hampa, Riana
melangkahkan kaki menjauhi stasiun.
***
Kehebohan terjadi di Kantor Layanan
MAI Foundation di Plaza Mandiri. Selang dua hari setelah kejadian, Riana mulai
membiasakan diri dengan kehilangan itu. Meski sekarang ia dipercayai memegang
ponsel kantor, namun rasanya lebih enak jika memakai ponsel sendiri.
“Mbak, ada telepon dari Pak Sutarno,”
suara Yanita menyeruak, mengganggu konsentrasi Riana yang sedang mengetik
sesuatu di laptopnya.
Riana mengambil ponsel dari tangan
Yanita.
“Hallo, assalamu’alaikum,” sapa Riana.
“Wa’alaikumsalam,”
jawabnya di sebrang sana. “Saya mau transfer sejumlah uang untuk membantu Mbak
membeli hape baru, kira-kira Mbak butuh berapa?”
Riana terdiam, berusaha meyakini
bahwa ini adalah kenyataan. “Ya ampun, Pak, berapapun jumlah yang Bapak beri
untuk saya, asalkan ikhlas, akan saya terima,” jawab Riana.
“Baiklah, kalau begitu saya akan
transfer. Sudah saya transfer, saya tlp mbak lagi, ya?”
“Iya, Pak.”
Tak sampai 10 menit, Pak Sutarno
mengabarkan bahwa uang sudah ditransfer.
Riana segera mengecek jumlah saldo di
tabungan.
Dan …
Riana hampir tak memercayai keajaiban
rizki dari Allah yang datang dengan cara aneh dan tanpa diduga. Bagaimana
mungkin, seseorang yang baru dikenal 2 hari yang lalu, yang dikenalnya hanya
dalam hitungan menit itu berani mengirimkan sejumlah uang dengan nominal besar
untuk membantu seseorang yang baru dikenalnya?
Riana menceritakannya kepada Yanita
dan teman-temannya di kantor. Mereka terkejut takjub mendengar cerita itu.
“Jangan-jangan itu malaikat, Rin.
Kamu periksa kakinya, gak?” canda Pak Hadi, rekan kerja Riana.
Sampai setelah Riana membeli ponsel
barunya, yang wanita itu ketahui adalah bahwa bapak yang ditemui di KRL itu
bernama Sutarno, bekerja di PLN Tanah Abang dan sebentar lagi akan pensiun.
Sambil menatap ponsel barunya, Riana
berdoa, “Semoga kebaikan hati Pak Sutarno akan dibalas dengan kebaikan yang
berlipat dari Allah subhanahu wa ta’ala.”
No comments:
Post a Comment