Saturday 10 September 2016

Nay's Adventures : Perjalanan Heboh Depok - Tangerang bersama Ceu

Ongkos Depok - Tangerang hanya 37K dengan kenyamanan seperti di mobil pribadi? Bagaimana bisa?

Sudah jauh hari saya merencanakan akan merayakan Idul Adha di rumah Tante, Tangerang. Dari jauh hari itu pula, saya mulai melakukan pencarian akan transportasi dan rute yang harus saya lalui. Saya masih pendatang di Depok. Jadi, saya banyak bertanya.

Banyak jalur ternyata. Saya bisa memilih dari arah stasiun Depok, terminal Parung atau terminal Lebak Bulus untuk menuju Tangerang. Tinggal pilih yang mana. Bebas seperti saya memilih pasangan hidup. *eh Namun yang saya pikirkan adalah kenyamanan di jalan. Maklum saja. Bukan hanya saya yang pergi. Mama dan Pangeran Kecil juga ikut. Jadi sebisa mungkin saya cari alternatif mudah agar tak merepotkan mereka berdua.

"Naik Grab aja!" Seloroh satu teman saya di whatsapp.

Omaigat. Saya hampir melupakan kemudahan yang satu ini. Selepas saya install aplikasinya di play store, saya pun cek harga. 220k. Tulisnya di sana. Lumayanlah. Gak mahal-mahal banget untuk 3 orang mah, pikir saya. Tanpa takut tersesat pulak. Kecuali si Mang Grabnya jahat nyulik saya yang cantik ini.

Niat ke Tangerang naik Grab akhirnya terucapkan pada Kakak Sepupu saya yang baik hati dan cerewet. Wanita yang kerap saya panggil Ceuceu itu malah bilang pengen ikut. Alasannya karena sudah lamaaaaaaa (sengaja dikasih penekanan karena emang begitu) tidak ke Tangerang. Abdinya pada keluarga tercinta membuatnya tak bisa pergi sesuka hati. Lagi pula, Ceu yang tengah hamil muda itu berpikir bahwa inilah saatnya berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga Tangerang sebelum masa 'sibuk'nya mendera kelak.

Baiklah. Saya pun okay saja. Pasti bakalan rame Idul Adha tahun ini. Apalagi ketika saya bilang juga ke keluarga Tangerang, katanya mereka bakal undang keponakan lainnya agar datang di malam takbir. Yaaa, apalagi kalau bukan bakar-bakaaarr. Makan-makaaan. Kumpull-kumpuulll. Seketika ada gelenyar aneh. Betapa tahun lalu dan lalunya lagi, tiap hari raya besar saya selalu merasa seperti terempas di sudut ruangan. Ruang kelam yang tak mampu saya dobrak. Sendiri. Menangis dalam pilu.

Maka, Sabtu siang itu (10/9), berlima, kami go to Tangerang!!!
Yeaaaaa ....
FYI. Ongkosnya jadi 159K saja. Ditambah uang tol 15k dibulatin jadi185K. So, ongkosnya cuma 37K doang per kepala.
Murah banget kan? :D
Seperti di mobil sendiri lagi.  #SenangSetengahMati
Sekonyong-konyong, saya berubah menjadi manusia yang paling bersyukur telah terlahir di bumi Indonesia tercintah atas kemudahan ini.

Oh iya, Mang GrabCar-nya baik banget. Saya pilih duduk di muka. Maksud hari mau ngawasin jalan biar suatu saat ke Tangerang bisa pergi sendiri. Nyatanya, di tengah perjalanan saya ngorok. Hahaaha. Yang saya ingat, setelah mobil belok ke Pamulang, saya hilang ingatan. Tahu-tahu sudah di tol Karang Tengah. Payah banget ya, saya? Lol.

Memasuki wilayah Jatake, kami mulai bernostalgila. Saya dan Ceu punya banyak kenangan di kota ini. Kami pernah sama-sama mengadu nasib demi selembar dua lembar uang. Bekerja sebagai buruh di pabrik. Nasib Ceu lebih beruntung dari saya. Dia gak usah wara-wiri cari pekerjaan. Dia kerja sebagai staff. Sementara saya, saya pernah ke sana kemari. Luntang lantung mencari pekerjaan. Memasuki pabrik satu dengan yang lainnya. Namun di balik itu, hikmahnya saya bisa kenal banyak teman. Saya bisa kenal Lina asal Lampung, kenal Reno yang baik hati antar jemput saya meski saya tahu itu dilakukan karena ada modus, kenal Kakak kece asal Wonosobo yang sempat saya taksir karena kebersihannya dalam berpakaian. Dan masing banyak lagi hikmahnya. Di antara kepenatan saya, Ceu memutuskan mengakhiri masa lajangnya sementara posisinya saya ambil alih. :D

"Ya ampun jalannya kering banget. Tuh, tuh, lihat. Debunya banyak."
"Bangunan ini kok jelek banget, pabrik apaan, Na?"
"Ke pabrik Hasi bukannya ke sana?"
"Tuh, lihat ini, Kak, pabrik Mayora. Kalo kamu makan produk dari Mayora, nah, bikinnya di sini."
"Ealaaahh ini bangunan sayang banget. Masjidnya jelek. Bangkrut, ya?"
"Ini bangunan pasti ada setannya."

Pengen deh rasanya gebuk pantatnya Ceu. Berisik dan heboh. Kayak belum pernah ke Tangerang saja. Tapi inilah bentuk nostalgila kami. Saya pun sabar memaparkan apa yang saya ketahui tentang kawasan industri Jatake saat ini.

Di suatu belokan, saya melihat karyawan/ti berada di luar pabrik entah sedang apa. Mata saya tiba-tiba nanar. Kenangan saya membludak. Kenangan tentang debar-debar menunggu keputusan diterima kerja atau tidak itu hadir. Dalam kondisi ini, saya bersyukur karena selalu dimudahkan oleh Allah yang Maha Pencipta. Keajaiban-keajaiban hadir. Orang-orang baik selalu di sekeliling saya. Mendukung dan menyokong.

"Kakak, dulu Mama kerja di sini nih," tunjuk Ceu pada anaknya. "Tante Rina juga tuh."

Itu sekitar tahun 2006. Saya tersenyum simpul mengingat kala itu, 10 tahun yang lalu.  ^^

Thursday 8 September 2016

Nay's Berpuisi: Saat Sabit

Saya lupa lho kalo ini malam Jumat.
Yang saya ingat sih bahwa hari ini harus ke rumah Pak RT buat minta surat pengantar bikin e-KTP. Maklum laaah. Sebagai warga yang ingin pelayanan publiknya dipenuhi termasuk proses di KUA (opss), wajib baginya memiliki e-KTP. Saya yang merupakan warga pindahan dari desa seberang, harus sesegera mungkin memiliki kartu pengakuan sakti mandraguna tersebut.
Menuju rumah Pak RW (kata Pak RT minta cop RW), saya melihat bulan sabit yang sinarnya hampir tertutup awan. Jiwa saya yang lebay terpanggil untuk membuat beberapa untai kata. Sebenarnya saya lupa berpuisi. Belum bisa juga ding. Hanya ikut alur hati dan otak saja.
Dan jadilah karya ini.

Saat Sabit

Sabit menyipit di relung sempit
Aku menyusuri gang tempat bayangmu menyatu dengan pekat malam
Sebagian hilang, sebagian tertanam di pelupuk mata
Menyublim bersama jejak yang kautinggalkan
...,pagi itu.

Ahh, malam datang lagi
Perasaan terkoyak merebak
Mimpi panjang tak berujung mencengkeram
Sukma terempas pada arus semu
Berlalu lalang bersama duka
; duka yang aku buat

Sayangnya secangkir kopi yang kubuat terlalu pahit
Sementara sabit, kini tertutup awan mendung

Di jalan itu
Mutsen
20:57
Nay

Apa pendapat kalian tentang puisi di atas? Share opini, yuk!?

Tuesday 6 September 2016

Nay's Bergokil : Lost In Shenzen

Cerita ini adalah nyata. 
Terjadi di pertengahan tahun 2012. 
Sudah lama pula saya tulis. Untuk lomba Faber Castle dengan juri Raditya Dika kalau gak salah. Tapi karena gak menang (melas.red), saya endapkan saja di folder. 
Sampai bulukan! Penuh kutu pula!
Maka dari itu saya keluarkan ke publik. Siapa tahu kejadian yang pernah saya alami ini, pernah pula dialami oleh teman lainnya. Lalu kita bisa sharing tentang kedodolan kita menjejak dunia baru antah berantah dan segala pernak pernik perbedaan yang ada. 
Yuk, mari dicapcuuuuussss ....




Lost In Shenzen  

Sewaktu Minggu libur ‘blusukan’ di pasar North Point, tiba-tiba dari arah belakang ada tangan jahil yang menarik-narik ujung jilbabku. Tadinya, dengan posisiku yang masih membelakangi tersangka, inginnya kutarik tangannya, dan dengan gerakan super kilat, kuangkat tubuhnya lalu kubanting kayak di pelem-pelem. Tapi gak jadi lantaran karena selain tersangkanya sudah berada di depanku lagi nyengir-nyengir mirip Mbah Dukun, aku pun enggak bisa mengeluarkan jurus sakti mandraguna tersebut.
Navha, makhluk item manis yang lagi nyengir-nyengir adalah teman yang kukenal secara unik. Waktu itu, kita sama-sama hendak menjalani hidup baru (baca : masuk majikan baru, hihihi). Sementara aku nge-break dan Navha di-interminite. Kami yang berada di bawah naungan agen ‘sebelum Senin sehabis Sabtu’ itu rencananya mau berangkat ke Shenzen buat tunggu visa keesokan harinya.
Baru sehari sampai di Shenzen tapi kami merasakan bĂȘte tingkat dewa. Bagaimana enggak? Kami yang di Hong Kong biasa dengan internet, di Shenzen ini, hape pintar mendadak oon. Biasanya cuma muterin lagu doang. Udah mah cuaca sedang panas-panasnya, gak bisa internetan, ditambah mbak-mbak di boarding house nyetel lagu Jawaan kenceng-kenceng, rambutku yang kayak rambut Titi Kamil mendadak keriting.
Akhirnya, aku mengajak Navha berpetualang (nyari warnet maksudnya, hihii …) Tanpa pikir panjang lagi, Navha bangkit. Lalu bersama-sama, kami keluar. Meski gak yakin akan menemukan warnet, tapi dengan cuci mata di Shenzen ini setidaknya bisa membuat kepala fresh. Syukur-syukur dapat gebetan. Eh?
Ternyata, meski Hong Kong dan Shenzen berdekatan, jarang ada orang yang bisa bahasa Kantonis. Itu terbukti ketika kumenanyakan di mana warnet dengan bahasa Kantonis, banyak di antara mereka yang menggelengkan kepala. Ambigu sih. Menggeleng karena gak tahu apa yang kumaksud, atau gak mau jawab karena kami orang asing. Entahlah. Hanya orang itu dan Tuhan yang tahu. *Tsaahh. Tapi untungnya, seorang nenek penjual bak pao bisa bahasa Kantonis dan bersedia memberi tahu di mana warnet berada.
Kepala kami seperti ada yang memukul dengan martil. Bagaimana bisa poster ‘game online and internet’  yang ditulis dengan huruf besar tidak kelihatan sementara kami sedari tadi mondar mandir di sekitaran situ. Ah, emang  dasarnya mau nyari gebetan kali. Oops.
Lagi-lagi kendala bahasa. Setelah tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Kantonis, ternyata petugas warnetnya tersebut juga tidak bisa bahasa Inggris. Biasanya kalau bahasa lisan tidak bisa diungkapkan, aku memakai bahasa isyarat. Tapi yang bisa ditangkap hanya gelengan kepala petugas warnet yang menyatakan bahwa ia tidak mengerti apa yang kami maksud.
Can you speak English?” Tanya Navha sekali lagi.
Tadinya, kalau tidak dijawab juga, kami akan pergi dan meninggalkan warnet dengan perasaan kesal yang menggunung. Namun rupanya kami beruntung. Dari arah belakang, tiba-tiba ada yang menyahut, “yes, I can.”
Rasanya seperti diguyur air di cuaca panas saat mendengar jawaban itu. Seorang perempuan berparas cantik (tapi masih cantikan aku, hahaha) menghampiri. “Can I help you?
Mata aku dan Navha berbinar. Lalu kami utarakan maksud kedatangan ke warnet tersebut dan kendala yang kami hadapi. Perempuan itu paham. Lalu kepada petugas warnet tersebut, ia berbicara. Entah apa yang ia bicarakan, ia hanya menerima kartu -bahannya mirip KTP Hk- lalu diserahkan kepada kami. Tak lupa, ia pun menyebut jumlah uang yang harus kami keluarkan.
Aku dan Navha membututi perempuan itu menuju kursi kosong.
“Kartunya dimasukkan ke dalam sini,” kata perempuan itu sambil menunjuk sebuah mesin. “Lalu, tunggu sebentar sampai komputer siap digunakan.”
Kami mengangguk paham.
“Baiklah. Ada yang bisa saya bantu lagi?” Aku dan Navha serentak menggeleng. “Kalau begitu, saya pamit dulu.” Setelah ber-babay-babay ria sambil melambai-lambai tangan dengan lebai, akhirnya kami fokus pada komputer di depan kami masing-masing.
                
Namun, setelah benar-benar komputer terbuka semua, baik aku maupun Navha sama-sama terbengong bego. Di kursi sebelah, terdengar Navha bergumam, “Rin, tulisannya huruf cacing semua gimana bacanya?”
Duh aduuhh, ternyata huruf di komputer itu memakai tulisan huruf cacing semua! Akhirnya, seperti seorang pengembara yang tersesat di tengah hutan rimba, aku dan Navha cuma sekadar meraba-raba saja. (baca : asal nge-klik)