Terjadi di pertengahan tahun 2012.
Sudah lama pula saya tulis. Untuk lomba Faber Castle dengan juri Raditya Dika kalau gak salah. Tapi karena gak menang (melas.red), saya endapkan saja di folder.
Sampai bulukan! Penuh kutu pula!
Maka dari itu saya keluarkan ke publik. Siapa tahu kejadian yang pernah saya alami ini, pernah pula dialami oleh teman lainnya. Lalu kita bisa sharing tentang kedodolan kita menjejak dunia baru antah berantah dan segala pernak pernik perbedaan yang ada.
Yuk, mari dicapcuuuuussss ....
Lost In Shenzen
Sewaktu Minggu libur ‘blusukan’ di pasar North
Point, tiba-tiba dari arah belakang ada tangan jahil yang menarik-narik ujung
jilbabku. Tadinya, dengan posisiku yang masih membelakangi tersangka, inginnya
kutarik tangannya, dan dengan gerakan super kilat, kuangkat tubuhnya lalu
kubanting kayak di pelem-pelem. Tapi gak jadi lantaran karena selain tersangkanya
sudah berada di depanku lagi nyengir-nyengir mirip Mbah Dukun, aku pun enggak
bisa mengeluarkan jurus sakti mandraguna tersebut.
Navha, makhluk item manis yang lagi nyengir-nyengir
adalah teman yang kukenal secara unik. Waktu itu, kita sama-sama hendak
menjalani hidup baru (baca : masuk majikan baru, hihihi). Sementara aku nge-break dan Navha di-interminite. Kami yang berada di bawah naungan agen ‘sebelum Senin
sehabis Sabtu’ itu rencananya mau berangkat ke Shenzen buat tunggu visa
keesokan harinya.
Baru sehari sampai di Shenzen tapi kami merasakan
bête tingkat dewa. Bagaimana enggak? Kami yang di Hong Kong biasa dengan
internet, di Shenzen ini, hape pintar mendadak oon. Biasanya cuma muterin lagu
doang. Udah mah cuaca sedang
panas-panasnya, gak bisa internetan, ditambah mbak-mbak di boarding house nyetel
lagu Jawaan kenceng-kenceng, rambutku yang kayak rambut Titi Kamil mendadak
keriting.
Akhirnya, aku mengajak Navha berpetualang (nyari
warnet maksudnya, hihii …) Tanpa pikir panjang lagi, Navha bangkit. Lalu
bersama-sama, kami keluar. Meski gak yakin akan menemukan warnet, tapi dengan
cuci mata di Shenzen ini setidaknya bisa membuat kepala fresh. Syukur-syukur dapat gebetan. Eh?
Ternyata, meski Hong Kong dan Shenzen berdekatan,
jarang ada orang yang bisa bahasa Kantonis. Itu terbukti ketika kumenanyakan di
mana warnet dengan bahasa Kantonis, banyak di antara mereka yang menggelengkan
kepala. Ambigu sih. Menggeleng karena gak tahu apa yang kumaksud, atau gak mau
jawab karena kami orang asing. Entahlah. Hanya orang itu dan Tuhan yang tahu.
*Tsaahh. Tapi untungnya, seorang nenek penjual bak pao bisa bahasa Kantonis dan
bersedia memberi tahu di mana warnet berada.
Kepala kami seperti ada yang memukul dengan martil.
Bagaimana bisa poster ‘game online and internet’ yang ditulis dengan huruf besar tidak
kelihatan sementara kami sedari tadi mondar mandir di sekitaran situ. Ah,
emang dasarnya mau nyari gebetan kali.
Oops.
Lagi-lagi kendala bahasa. Setelah tidak bisa
berkomunikasi dengan bahasa Kantonis, ternyata petugas warnetnya tersebut juga
tidak bisa bahasa Inggris. Biasanya kalau bahasa lisan tidak bisa diungkapkan,
aku memakai bahasa isyarat. Tapi yang bisa ditangkap hanya gelengan kepala
petugas warnet yang menyatakan bahwa ia tidak mengerti apa yang kami maksud.
“Can you speak
English?” Tanya Navha sekali lagi.
Tadinya, kalau tidak dijawab juga, kami akan pergi dan
meninggalkan warnet dengan perasaan kesal yang menggunung. Namun rupanya kami
beruntung. Dari arah belakang, tiba-tiba ada yang menyahut, “yes, I can.”
Rasanya seperti diguyur air di cuaca panas saat
mendengar jawaban itu. Seorang perempuan berparas cantik (tapi masih cantikan
aku, hahaha) menghampiri. “Can I help
you?”
Mata aku dan Navha berbinar. Lalu kami utarakan
maksud kedatangan ke warnet tersebut dan kendala yang kami hadapi. Perempuan
itu paham. Lalu kepada petugas warnet tersebut, ia berbicara. Entah apa yang ia
bicarakan, ia hanya menerima kartu -bahannya mirip KTP Hk- lalu diserahkan
kepada kami. Tak lupa, ia pun menyebut jumlah uang yang harus kami keluarkan.
Aku dan Navha membututi perempuan itu menuju kursi
kosong.
“Kartunya dimasukkan ke dalam sini,” kata perempuan
itu sambil menunjuk sebuah mesin. “Lalu, tunggu sebentar sampai komputer siap
digunakan.”
Kami mengangguk paham.
“Baiklah. Ada yang bisa saya bantu lagi?” Aku dan
Navha serentak menggeleng. “Kalau begitu, saya pamit dulu.” Setelah
ber-babay-babay ria sambil melambai-lambai tangan dengan lebai, akhirnya kami
fokus pada komputer di depan kami masing-masing.
Namun, setelah benar-benar komputer terbuka semua,
baik aku maupun Navha sama-sama terbengong bego. Di kursi sebelah, terdengar
Navha bergumam, “Rin, tulisannya huruf cacing semua gimana bacanya?”
Duh aduuhh, ternyata huruf di komputer itu memakai
tulisan huruf cacing semua! Akhirnya, seperti seorang pengembara yang tersesat
di tengah hutan rimba, aku dan Navha cuma sekadar meraba-raba saja. (baca :
asal nge-klik)
No comments:
Post a Comment