Tuesday 6 September 2016

Nay's Bergokil : Lost In Shenzen

Cerita ini adalah nyata. 
Terjadi di pertengahan tahun 2012. 
Sudah lama pula saya tulis. Untuk lomba Faber Castle dengan juri Raditya Dika kalau gak salah. Tapi karena gak menang (melas.red), saya endapkan saja di folder. 
Sampai bulukan! Penuh kutu pula!
Maka dari itu saya keluarkan ke publik. Siapa tahu kejadian yang pernah saya alami ini, pernah pula dialami oleh teman lainnya. Lalu kita bisa sharing tentang kedodolan kita menjejak dunia baru antah berantah dan segala pernak pernik perbedaan yang ada. 
Yuk, mari dicapcuuuuussss ....




Lost In Shenzen  

Sewaktu Minggu libur ‘blusukan’ di pasar North Point, tiba-tiba dari arah belakang ada tangan jahil yang menarik-narik ujung jilbabku. Tadinya, dengan posisiku yang masih membelakangi tersangka, inginnya kutarik tangannya, dan dengan gerakan super kilat, kuangkat tubuhnya lalu kubanting kayak di pelem-pelem. Tapi gak jadi lantaran karena selain tersangkanya sudah berada di depanku lagi nyengir-nyengir mirip Mbah Dukun, aku pun enggak bisa mengeluarkan jurus sakti mandraguna tersebut.
Navha, makhluk item manis yang lagi nyengir-nyengir adalah teman yang kukenal secara unik. Waktu itu, kita sama-sama hendak menjalani hidup baru (baca : masuk majikan baru, hihihi). Sementara aku nge-break dan Navha di-interminite. Kami yang berada di bawah naungan agen ‘sebelum Senin sehabis Sabtu’ itu rencananya mau berangkat ke Shenzen buat tunggu visa keesokan harinya.
Baru sehari sampai di Shenzen tapi kami merasakan bête tingkat dewa. Bagaimana enggak? Kami yang di Hong Kong biasa dengan internet, di Shenzen ini, hape pintar mendadak oon. Biasanya cuma muterin lagu doang. Udah mah cuaca sedang panas-panasnya, gak bisa internetan, ditambah mbak-mbak di boarding house nyetel lagu Jawaan kenceng-kenceng, rambutku yang kayak rambut Titi Kamil mendadak keriting.
Akhirnya, aku mengajak Navha berpetualang (nyari warnet maksudnya, hihii …) Tanpa pikir panjang lagi, Navha bangkit. Lalu bersama-sama, kami keluar. Meski gak yakin akan menemukan warnet, tapi dengan cuci mata di Shenzen ini setidaknya bisa membuat kepala fresh. Syukur-syukur dapat gebetan. Eh?
Ternyata, meski Hong Kong dan Shenzen berdekatan, jarang ada orang yang bisa bahasa Kantonis. Itu terbukti ketika kumenanyakan di mana warnet dengan bahasa Kantonis, banyak di antara mereka yang menggelengkan kepala. Ambigu sih. Menggeleng karena gak tahu apa yang kumaksud, atau gak mau jawab karena kami orang asing. Entahlah. Hanya orang itu dan Tuhan yang tahu. *Tsaahh. Tapi untungnya, seorang nenek penjual bak pao bisa bahasa Kantonis dan bersedia memberi tahu di mana warnet berada.
Kepala kami seperti ada yang memukul dengan martil. Bagaimana bisa poster ‘game online and internet’  yang ditulis dengan huruf besar tidak kelihatan sementara kami sedari tadi mondar mandir di sekitaran situ. Ah, emang  dasarnya mau nyari gebetan kali. Oops.
Lagi-lagi kendala bahasa. Setelah tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Kantonis, ternyata petugas warnetnya tersebut juga tidak bisa bahasa Inggris. Biasanya kalau bahasa lisan tidak bisa diungkapkan, aku memakai bahasa isyarat. Tapi yang bisa ditangkap hanya gelengan kepala petugas warnet yang menyatakan bahwa ia tidak mengerti apa yang kami maksud.
Can you speak English?” Tanya Navha sekali lagi.
Tadinya, kalau tidak dijawab juga, kami akan pergi dan meninggalkan warnet dengan perasaan kesal yang menggunung. Namun rupanya kami beruntung. Dari arah belakang, tiba-tiba ada yang menyahut, “yes, I can.”
Rasanya seperti diguyur air di cuaca panas saat mendengar jawaban itu. Seorang perempuan berparas cantik (tapi masih cantikan aku, hahaha) menghampiri. “Can I help you?
Mata aku dan Navha berbinar. Lalu kami utarakan maksud kedatangan ke warnet tersebut dan kendala yang kami hadapi. Perempuan itu paham. Lalu kepada petugas warnet tersebut, ia berbicara. Entah apa yang ia bicarakan, ia hanya menerima kartu -bahannya mirip KTP Hk- lalu diserahkan kepada kami. Tak lupa, ia pun menyebut jumlah uang yang harus kami keluarkan.
Aku dan Navha membututi perempuan itu menuju kursi kosong.
“Kartunya dimasukkan ke dalam sini,” kata perempuan itu sambil menunjuk sebuah mesin. “Lalu, tunggu sebentar sampai komputer siap digunakan.”
Kami mengangguk paham.
“Baiklah. Ada yang bisa saya bantu lagi?” Aku dan Navha serentak menggeleng. “Kalau begitu, saya pamit dulu.” Setelah ber-babay-babay ria sambil melambai-lambai tangan dengan lebai, akhirnya kami fokus pada komputer di depan kami masing-masing.
                
Namun, setelah benar-benar komputer terbuka semua, baik aku maupun Navha sama-sama terbengong bego. Di kursi sebelah, terdengar Navha bergumam, “Rin, tulisannya huruf cacing semua gimana bacanya?”
Duh aduuhh, ternyata huruf di komputer itu memakai tulisan huruf cacing semua! Akhirnya, seperti seorang pengembara yang tersesat di tengah hutan rimba, aku dan Navha cuma sekadar meraba-raba saja. (baca : asal nge-klik)




No comments:

Post a Comment