Tuesday 3 January 2017

Cerpen: Impian Han Chae Hee

Karya ini pernah dilombakan dalam lomba menulis cerpen tema 'biola' yang diadakan oleh Biola Underbridge, Hong Kong. Alhamdulillah, karya ini mendapat Juara 1 dan berhak atas 1 buah biola dan uang tunai.
Omong-omong, jangan tanya biolanya sekarang dikemanakan? Pasti akan saya jawab, ada. 
Tapi kalau ditanya, bisa memainkannya?
Saya akan menjawab dengan suka cita, "bisa, meski cuma ngekngakngekngok."


Impian Han Chae Hee
Oleh : Riana Dewi

Cr. Google


"Han Chae Hee! Kau sedang apa di atas? Apa kau tidak mau turun bantu eomma[1]?" Ketika Eomma memanggil, Han Chae Hee sedang menonton televisi. Chae Hee tahu kalau sore ini kedai mie milik Eomma sedang ramai. Tapi acara variety show yang tengah ditayangkan oleh salah satu stasiun terkemuka di Korea membuat gadis berusia 17 tahun itu menunda pekerjaannya membantu Eomma. Sebenarnya, bukan acaranya yang ia gemari, melainkan karena bintang tamu yang dihadirkan adalah seorang violinis terkenal Korea, Kyung Wha Chung
"Eomma tahu kau sedang menonton televisi dan Eomma juga tahu kau sedang menonton apa. Jadi apa perlu Eomma ke atas lalu mematikan televisinya?" Panggil Eomma lagi dengan nada penuh penekanan. "Cepat turun. Kau harus mengantar mie ke Kakek Lee!"
Mendengar hal itu, meski acara variety show belum selesai, Han Chae Hee akhirnya memilih mematikan televisi dan turun ke bawah. "Ne[2], aku segera turun!"
Eomma yang sedari tadi sibuk melayani pembeli menoleh ke arah Han Chae Hee. "Kau pasti sedang nonton acara biola lagi, kan?"
Han Chae Hee hanya bisa diam mendengar perkataan ketus Eomma itu. Ia tahu betapa bencinya Eomma pada alat musik bernama biola itu meski tidak tahu apa penyebabnya.
"Kau ambil plastik putih dekat tumpukan piring itu dan segera antar ke Kakek Lee sebelum mienya berubah menjadi sebesar cacing!" Tanpa banyak kata, Han Chae Hee mengikuti petunjuk Eomma. "Tolong katakan juga kepada Kakek Lee, mungkin besok atau lusa, kedai akan tutup." Kata Eomma membuat Han Chae mematung lantas mengernyitkan alis.
"Hey, sedang apa kau mematung di sana? Segera antar mienya. Eomma sibuk sekali hari ini." Alih-alih menjelaskan, Eomma malah berlalu melayani pembeli.
Setelah berjalan beberapa langkah, Han Chae Hee berbalik. Menatap bangunan tua di depannya. Rumah kecil dengan dua tingkat yang disewa Eomma di desa terpencil. Lantai atas untuk tempat tinggal, lantai bawah dibuka kedai. Tapi apa yang barusan Eomma katakan membuat pikiran Han Chae Hee terusik.
***
Makan malam kali ini dilalui oleh hening. Biasanya Eomma akan bercerita banyak hal tentang pelanggannya yang kadang membuatnya pusing. Atau Han Chae Hee yang bercerita banyak tentang teman-teman sekolahnya. Tetapi ini masa libur sekolah. Semenjak libur musim dingin, ia sama sekali belum pernah bermain atau jalan-jalan dengan teman-temannya. Han Chae Hee lebih memilih membantu ibunya di kedai.
Han Chae Hee memainkan nasi dalam mangkuk yang masih tersisa setengahnya dengan sumpit. Kimchi stew[3] yang merupakan makanan favorit Han Chae Hee dibiarkan mendingin. Selera makannya tiba-tiba lenyap. Pikirannya masih dirasuki penasaran akan kalimat Eomma tadi siang. Ia berharap Eomma akan segera memberitahu apa maksud perkataannya. Tetapi melihat Eomma yang makan dengan lahap di depannya tanpa kata-kata cukup mengatakan kalau ia enggan membahasnya.  
Han Chae Hee yang kesal melihat tingkah Eomma meletakkan sumpit. Bungkam, ia segera bangkit menuju kamarnya.
***
Semua pengunjung di Seoul Arts Center serentak terdiam menajamkan indera pendengaran.Tak terkecuali Han Chae Hee kecil. Saat itu ia berumur 6 tahun. Mata sipitnya terus memandangi sosok wanita bergaun merah di tengah-tengah panggung yang sedang memainkan biola.
"Bagaimana permainan mereka tadi, Han Chae Hee?" Tanya Han Tae Jung -ayah Han Chae Hee- sewaktu mereka baru keluar dari gedung Seoul Arts Center.
"Daebak[4], Appa," ucapnya seraya mengacungi jempol.
"Apakah kau masih ingin kembali lagi ke sini suatu hari nanti?"
"Tentu saja! Tempat ini sungguh menyenangkan bagiku." Jawab Han Chae Hee kecil dengan riang.
"Johwa[5]. Kapan-kapan kita datang lagi ke sini. Tapi ingat, jangan pernah kasih tahu siapapun tentang masalah ini. Ibumu pun jangan. Ini hanya kita berdua saja yang tahu. Arattji[6]?"
"Ne, Appa. Aku bakal tutup mulut."
Han Tae Jung tersenyum melihat kelakuan putrinya itu. "Hm, sekarang kita mau ke mana lagi?"
"Aiseukeurimeul moggoyo[7]!" Kata Han Chae Hee spontan dengan mata berbinar.
Lalu Han Tae Jung membawa Han Chae Hee ke taman terdekat setelah sebelumnya membeli es krim di mart. Mereka lantas duduk di kursi terbuat dari semen. Han Tae Jung membuka satu bungkus es krim rasa coklat lalu diberikan ke pada putrinya. Menerima es krim, Han Chae Hee langsung menjilatnya.
"Lagu yang tadi wanita bergaun merah dan teman-temannya mainkan itu judulnya The Four Season." Ucap Han Tae Jung tiba-tiba. Han Chae Hee menoleh ke arah ayahnya tapi tak berani berkata-kata. Seolah mengerti kalau ayahnya ingin bercerita sesuatu.
"Komposernya bernama Antonio Vivaldi dari Italia." Lanjutnya lagi. "Dulu, ayah ingin sekali menjadi seperti wanita bergaun merah tadi. Berdiri di tengah-tengah panggung, dihadiri dan disaksikan ribuan pasang mata, lalu ayah memainkan lagu-lagu dari komposer terkenal dunia dan menciptakan lagu sendiri." Han Tae jung menjeda kalimatnya. "Namun sayang itu hanya mimpi yang tak pernah terwujud."
 Han Chae Hee terdiam. Ia menoleh kembali ke ayahnya. Mata sipitnya memandang penuh tanya.  "Wae[8]? Kenapa ayah tidak mewujudkannya?"
Han Tae Jung tersenyum  tapi terlihat masam. "Sebab kakek dan nenekmu tidak suka ayah bermain musik. Mereka menginginkan ayah menjadi arsitek. Tetapi demi apapun, ayah masih menyimpan rapat impian itu, Han Chae Hee," ungkap Han Tae Jung.  "Han Chae Hee, dengarkan ayahmu. Jika kau memiliki impian, kau jangan seperti ayahmu yang pengecut ini. Kejarlah apa yang kau inginkan. Tak peduli itu akan berlawanan arus dengan keadaan. Selagi ada jalan, hwaiting[9]!"
Han Chae Hee waktu itu tidak mengerti apa yang sedang ayahnya katakan. Ia hanya menatap heran kemudian menghabiskan es krim di tangannya. Namun semakin dirinya tumbuh remaja, akhirnya ia menyadari bahwa kenangan itu, kata-kata semangat itu adalah jalan terang yang ditunjukkan ayahnya sebelum meninggal. Kecelakaan telah merenggut nyawa ayahnya. Setelah kematian Han Tae Jung, Eomma menyewakan rumah milik suaminya itu kepada pasangan suami istri dan memutuskan menyewa sebuah rumah di desa kelahirannya.
Dan, di sinilah Han Chae Hee berada. Di kamar kecil, di lantai atas. Setelah meninggalkan Eomma di ruang makan tadi, ia segera memasuki kamar. Ia terduduk menghadap meja belajarnya. Ia memandang figura di atas meja. Akhirnya air mata yang sedari tadi ditahan, tumpah juga.
***
Han Chae Hee merasakan ada sesuatu keanehan di pagi ini. Begitu membuka mata dan melihat jam menunjukkan pukul 8.15, biasanya Eomma yang biasa sibuk di lantai bawah berteriak bangun dan memanggilnya turun untuk membantu di kedai. Tapi kali ini tidak.
Han Chae tergeming untuk beberapa saat. Merasa perlu mencari tahu, ia memaksakan kedua kakinya melangkah. Begitu keluar kamar, ia pun segera turun ke lantai bawah. Matanya jelalatan mencari sosok Eomma tapi hasilnya nihil.  Tak ada Eomma, tak ada pegawai, tak ada suara adonan mie, tak ada siapapun di lantai bawah, bahkan tanda-tanda kedai akan buka pun tak ia temukan. Han Chae Hee semakin diliputi tanda tanya.
"Kamu sudah bangun, Han Chae Hee?"
Han Chae Hee terkejut dan segera menoleh ke belakang. Eomma sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri dengan mengenakan baju bagus. "Hm," jawab Han Chae Hee singkat.
"Kalau begitu, cepat kemasi barangmu. Kita harus pergi. Bawa baju seperlunya saja," perintah Eomma tanpa basa-basi.
"Memangnya kita mau ke mana? Kenapa kau selalu membuat aturan sendiri?" Saking sebalnya, Han Chae Hee menyebut Eomma dengan sebutan kau.
Melalui sorot mata, Eomma memberikan isyarat agar anak semata wayangnya itu tak usah banyak bertanya. Pada dasarnya, Han Chae Hee adalah anak yang penurut. Begitu melihat sorot mata lelah Eomma, hatinya pun luluh. Ia segera naik kembali ke atas menuju kamarnya dan mengemasi pakaian musim dingin seperlunya saja.
Setibanya di lantai bawah, Han Chae Hee semakin dibuat tak mengerti. Mobil sedan berwarna hitam sudah terparkir di depan rumah. Mobil siapa yang  dipinjam, ia tak tahu. Yang ia tahu adalah semenjak kecelakaan yang menimpa ayahnya, Eomma benci berkendaraan.
***
Han Chae Hee tercenung. Ia merasakan seperti dejavu. Meski pembangunan sudah semakin pesat, memori otaknya bisa mengingat bangunan yang barusan dilaluinya adalah Seoul Arts Center.
"Sebenarnya kita mau kemana?"
Terjawab sudah. Begitu mobil berbelok memasuki wilayah elit Cheongdamdong, ia pun tahu kemana Eomma membawanya.
Han Chae Hee seolah merasakan transisi dari dejavu ke mimpi.
"Turun!" Perintah Eomma.
Eomma membuka gerbang. Han Chae Hee tidak tahu Eomma mendapatkan kunci dari mana sebab setahunya rumah ini telah disewakan. Dari gerbang, mereka melewati taman yang begitu luas. Sebagai arsitek, ayahnya membangun rumah dengan begitu tertata. Rumput hijau membentang, kolam dengan air memancur, lalu dua buah ayunan di bawah pohon rindang masih terletak di tempatnya. Han Chae Hee hanya bisa menghela napas ketika puing-puing kenangan masa kecilnya itu kembali menghiasi benaknya.
Eomma mengambil kunci dari tas tangannya. Setelah pintu besi dibuka, ia menekan sejumlah angka sebagai kode pengaman rumah. Tak lama, pintu utama rumah itu terbuka.
Setelah masuk, Han Chae Hee hanya memandang takjub dengan apa yang ada di dalamnya. Letak sofa, lemari-lemari, furniture, semua masih sama seperti yang diingatnya. Rupanya Eomma membiarkan kenangan itu tetap pada letaknya. Namun tiba-tiba hatinya miris ketika melihat dinding di ruang keluarga yang kosong. Matanya yang takjubpun meredup.
"Penyewa rumah ini sedang berlibur ke Prancis." Jelas Eomma tanpa diminta.
"Ohh," jawab Han Chae Hee singkat, lalu membiarkan Eomma memasuki ruangan yang menjadi kamarnya dulu.
Sama dengan Eomma, Han Chae Hee pun melangkahkan kakinya menuju lantai atas, kamarnya. Dan dugaanya tepat. Tak ada yang berubah dari kamarnya.
"Sudah berapa tahun aku tidak ke sini?" gumam Han Chae Hee lirih sambil mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ia kemudian duduk di kasurnya yang tak lagi sesuai dengan ukuran tubuhnya lalu mengusapnya pelan. Air mata bergulir di pipinya tanpa diminta. Namun segera dihapus begitu mendengar derap langkah mendekat.
Terlihat Eomma datang. Di tangannya, tergenggam sebuah benda berwarna hitam. Han Chae Hee menatap nanar benda itu.
"Aku tahu, cepat atau lambat keteguhan hati ini akan meluluh juga," kemudian Eomma duduk di samping Han Chae Hee. "Dan, mungkin inilah saat yang tepat."
Han Chae Hee tak berkata, lewat sorot matanya, ia memandang Eomma penuh tanya.
"Ini ...," Eomma menyodorkan benda hitam itu ke arah Han Chae Hee. "Ambillah."
Kedua tangan Han Chae Hee mengambil benda itu dari Eomma dan membukanya. Sebuah biola.
"Kau mirip sekali dengan ayahmu." Eomma menatap Han Chae Hee penuh kelembutan. "Kau kira Eomma tidak tahu kalau kau diam-diam sering menonton acara musik di televisi? Kau diam-diam menyukai alat musik biola, ingin membelinya, ingin memainkannya. Dan, selama ini bukannya Eomma melarangmu. Bukan! Hanya saja, Eomma masih trauma atas meninggalnya ayahmu."
"Aku mengerti kok, Eomma." Desis Han Chae Hee.
"Tidak. Kau belum mengerti mengapa Eomma setrauma itu."
"Maksud Eomma?"
Eomma terdiam. Ia memikirkan cara untuk menyampaikan kebenaran. "Apa yang kau ketahui tentang penyebab kematian ayahmu?"
Han Chae Hee menatap Eomma lama, kemudian satu kata meluncur dari bibirnya. "Kecelakaan."
"Geurae[10]. Kecelakaan. Tapi, apakah kau tahu penyebab kecelakaan itu?"
Han Chae Hee menggeleng lemah.
Eomma memaku tatapannya pada langit-langit kamar. Sejenak menghirup napas, ia lantas memulai ceritanya. "Beberapa hari sebelum kecelakaan, mengetahui bakat terpendam ayahmu, sahabat ayahmu mengenalkannya kepada violinis asal Jerman. Violinis itu menyukai ayahmu dan mengajaknya gabung di pertunjukkan besar di Korea. Tak tanggung, Sophie Anne Mutter, violinis wanita terkenal dari Jerman itulah yang akan dijadikan partner duet dengan ayahmu. Saking antusiasnya, tender yang seharusnya dijalankan malah diabaikan hingga kakekmu marah besar. Dan tepat di hari pertunjukkan, saat itu juga tanda tangan tender harus dilakukan."
Eomma menjeda ceritanya untuk mengusap air mata yang jatuh begitu saja. Han Chae Hee mendengar seksama cerita sambil memeluk biola.
"Kakek dan ayahmu beradu mulut. Namun ayahmu lebih memilih impiannya. Ayahmu pergi menuju tempat pertunjukkan. Sayangnya di tengah jalan, ayahmu mengalami kecelakaan. Mobil rusak, nyawa ayahmu menghilang, tapi herannya, benda yang kini berada di tangamu itu utuh tanpa lecet."
Akhirnya Han Chae Hee tahu alasan mengapa Eomma membenci biola.
Eomma kembali mengusap air matanya lalu mengubah posisi tubuhnya hingga berhadapan lurus dengan Han Chae Hee. Tangannya terjulur, direngkuhnya pundak anaknya itu. "Han Chae Hee, Eomma rasa, ayahmu menginginkan kau melanjutkan impiannya."
"Eomma ..." panggil Han Chae Hee lirih. Matanya tergenangi kristal bening.
"Eomma sudah bilang ke penyewa rumah kalau kita akan kembali menempati rumah ini dan mereka tak keberatan. Eomma juga sudah memikirkan ke mana kau akan melanjutkan kuliah. Di Seoul, Eomma yakin segalanya akan jauh lebih mudah dan lebih baik."
Han Chae Hee tak kuasa menahan rasa di hatinya. Ia berangsur memeluk Eomma.
"Maafkan Eomma, Han Chae Hee. Maafkan Eomma yang sudah egois."
Di pelukan Eomma yang hangat, Han Chae Hee menggenggam kuat biola di tangannya. Dan dalam hatinya, ia bertekad akan melanjutkan impian ayahnya.





[1] Eomma : Ibu
[2] Ne : Iya.
[3] Kimchi Stew atau yang disebut juga Kimchi jjigae adalah sup asam pedas khas Korea dengan isinya berupa kimchi, tahu, duan bawang, daging babi dan seafood.
[4] Daebak : Keren, wow, awesome
[5] Johwa : baiklah
[6] Arrattji? : Mengerti, oke
[7] Aiseukeurimeul moggoyo : Makan Es Krim
[8] Wae : mengapa?
[9] Hwaiting : Semangat!
[10] Geurae : Iya, begitu. That's right

No comments:

Post a Comment