Karya ini pernah dilombakan dalam lomba menulis cerpen tema 'biola' yang diadakan oleh Biola Underbridge, Hong Kong. Alhamdulillah, karya ini mendapat Juara 1 dan berhak atas 1 buah biola dan uang tunai.
Omong-omong, jangan tanya biolanya sekarang dikemanakan? Pasti akan saya jawab, ada.
Tapi kalau ditanya, bisa memainkannya?
Saya akan menjawab dengan suka cita, "bisa, meski cuma ngekngakngekngok."
Impian Han Chae
Hee
Oleh
: Riana Dewi
![]() |
Cr. Google |
"Han
Chae Hee! Kau sedang apa di atas? Apa kau tidak mau turun bantu eomma[1]?"
Ketika Eomma memanggil, Han Chae Hee
sedang menonton televisi. Chae Hee tahu kalau sore ini kedai mie milik Eomma sedang ramai. Tapi acara variety show yang tengah ditayangkan
oleh salah satu stasiun terkemuka di Korea membuat gadis berusia 17 tahun itu
menunda pekerjaannya membantu Eomma. Sebenarnya,
bukan acaranya yang ia gemari, melainkan karena bintang tamu yang dihadirkan
adalah seorang violinis terkenal Korea, Kyung Wha Chung
"Eomma tahu kau sedang menonton televisi
dan Eomma juga tahu kau sedang
menonton apa. Jadi apa perlu Eomma ke
atas lalu mematikan televisinya?" Panggil Eomma lagi dengan nada penuh penekanan. "Cepat turun. Kau
harus mengantar mie ke Kakek Lee!"
Mendengar
hal itu, meski acara variety show
belum selesai, Han Chae Hee akhirnya memilih mematikan televisi dan turun ke
bawah. "Ne[2],
aku segera turun!"
Eomma
yang sedari tadi sibuk melayani pembeli menoleh ke arah Han Chae Hee. "Kau
pasti sedang nonton acara biola lagi, kan?"
Han
Chae Hee hanya bisa diam mendengar perkataan ketus Eomma itu. Ia tahu betapa bencinya Eomma pada alat musik bernama biola itu meski tidak tahu apa
penyebabnya.
"Kau
ambil plastik putih dekat tumpukan piring itu dan segera antar ke Kakek Lee
sebelum mienya berubah menjadi sebesar cacing!" Tanpa banyak kata, Han
Chae Hee mengikuti petunjuk Eomma. "Tolong
katakan juga kepada Kakek Lee, mungkin besok atau lusa, kedai akan tutup."
Kata Eomma membuat Han Chae mematung lantas
mengernyitkan alis.
"Hey,
sedang apa kau mematung di sana? Segera antar mienya. Eomma sibuk sekali hari ini." Alih-alih menjelaskan, Eomma malah berlalu melayani pembeli.
Setelah
berjalan beberapa langkah, Han Chae Hee berbalik. Menatap bangunan tua di
depannya. Rumah kecil dengan dua tingkat yang disewa Eomma di desa terpencil. Lantai atas untuk tempat tinggal, lantai
bawah dibuka kedai. Tapi apa yang barusan Eomma
katakan membuat pikiran Han Chae Hee terusik.
***
Makan
malam kali ini dilalui oleh hening. Biasanya Eomma akan bercerita banyak hal tentang pelanggannya yang kadang
membuatnya pusing. Atau Han Chae Hee yang bercerita banyak tentang teman-teman
sekolahnya. Tetapi ini masa libur sekolah. Semenjak libur musim dingin, ia sama
sekali belum pernah bermain atau jalan-jalan dengan teman-temannya. Han Chae
Hee lebih memilih membantu ibunya di kedai.
Han
Chae Hee memainkan nasi dalam mangkuk yang masih tersisa setengahnya dengan
sumpit. Kimchi stew[3]
yang merupakan makanan favorit Han Chae Hee dibiarkan mendingin. Selera
makannya tiba-tiba lenyap. Pikirannya masih dirasuki penasaran akan kalimat Eomma tadi siang. Ia berharap Eomma akan segera memberitahu apa maksud
perkataannya. Tetapi melihat Eomma
yang makan dengan lahap di depannya tanpa kata-kata cukup mengatakan kalau ia
enggan membahasnya.
Han
Chae Hee yang kesal melihat tingkah Eomma
meletakkan sumpit. Bungkam, ia segera bangkit menuju kamarnya.
***
Semua
pengunjung di Seoul Arts Center serentak terdiam menajamkan indera pendengaran.Tak
terkecuali Han Chae Hee kecil. Saat itu ia berumur 6 tahun. Mata sipitnya terus
memandangi sosok wanita bergaun merah di tengah-tengah panggung yang sedang
memainkan biola.
"Bagaimana
permainan mereka tadi, Han Chae Hee?" Tanya Han Tae Jung -ayah Han Chae
Hee- sewaktu mereka baru keluar dari gedung Seoul Arts Center.
"Daebak[4],
Appa," ucapnya seraya mengacungi jempol.
"Apakah
kau masih ingin kembali lagi ke sini suatu hari nanti?"
"Tentu
saja! Tempat ini sungguh menyenangkan bagiku." Jawab Han Chae Hee kecil
dengan riang.
"Johwa[5].
Kapan-kapan kita datang lagi ke sini. Tapi ingat, jangan pernah kasih tahu
siapapun tentang masalah ini. Ibumu pun jangan. Ini hanya kita berdua saja yang
tahu. Arattji[6]?"
"Ne, Appa. Aku bakal tutup mulut."
Han
Tae Jung tersenyum melihat kelakuan putrinya itu. "Hm, sekarang kita mau
ke mana lagi?"
"Aiseukeurimeul moggoyo[7]!"
Kata Han Chae Hee spontan dengan mata berbinar.
Lalu
Han Tae Jung membawa Han Chae Hee ke taman terdekat setelah sebelumnya membeli
es krim di mart. Mereka lantas duduk
di kursi terbuat dari semen. Han Tae Jung membuka satu bungkus es krim rasa
coklat lalu diberikan ke pada putrinya. Menerima es krim, Han Chae Hee langsung
menjilatnya.
"Lagu
yang tadi wanita bergaun merah dan teman-temannya mainkan itu judulnya The Four Season." Ucap Han Tae Jung
tiba-tiba. Han Chae Hee menoleh ke arah ayahnya tapi tak berani berkata-kata. Seolah
mengerti kalau ayahnya ingin bercerita sesuatu.
"Komposernya
bernama Antonio Vivaldi dari Italia." Lanjutnya lagi. "Dulu, ayah
ingin sekali menjadi seperti wanita bergaun merah tadi. Berdiri di
tengah-tengah panggung, dihadiri dan disaksikan ribuan pasang mata, lalu ayah
memainkan lagu-lagu dari komposer terkenal dunia dan menciptakan lagu sendiri."
Han Tae jung menjeda kalimatnya. "Namun sayang itu hanya mimpi yang tak
pernah terwujud."
Han Chae Hee terdiam. Ia menoleh kembali ke
ayahnya. Mata sipitnya memandang penuh tanya. "Wae[8]?
Kenapa ayah tidak mewujudkannya?"
Han
Tae Jung tersenyum tapi terlihat masam. "Sebab
kakek dan nenekmu tidak suka ayah bermain musik. Mereka menginginkan ayah menjadi
arsitek. Tetapi demi apapun, ayah masih menyimpan rapat impian itu, Han Chae
Hee," ungkap Han Tae Jung. "Han
Chae Hee, dengarkan ayahmu. Jika kau memiliki impian, kau jangan seperti ayahmu
yang pengecut ini. Kejarlah apa yang kau inginkan. Tak peduli itu akan
berlawanan arus dengan keadaan. Selagi ada jalan, hwaiting[9]!"
Han
Chae Hee waktu itu tidak mengerti apa yang sedang ayahnya katakan. Ia hanya
menatap heran kemudian menghabiskan es krim di tangannya. Namun semakin dirinya
tumbuh remaja, akhirnya ia menyadari bahwa kenangan itu, kata-kata semangat itu
adalah jalan terang yang ditunjukkan ayahnya sebelum meninggal. Kecelakaan
telah merenggut nyawa ayahnya. Setelah kematian Han Tae Jung, Eomma menyewakan rumah milik suaminya
itu kepada pasangan suami istri dan memutuskan menyewa sebuah rumah di desa
kelahirannya.
Dan,
di sinilah Han Chae Hee berada. Di kamar kecil, di lantai atas. Setelah
meninggalkan Eomma di ruang makan
tadi, ia segera memasuki kamar. Ia terduduk menghadap meja belajarnya. Ia
memandang figura di atas meja. Akhirnya air mata yang sedari tadi ditahan,
tumpah juga.
***
Han
Chae Hee merasakan ada sesuatu keanehan di pagi ini. Begitu membuka mata dan
melihat jam menunjukkan pukul 8.15, biasanya Eomma yang biasa sibuk di lantai bawah berteriak bangun dan
memanggilnya turun untuk membantu di kedai. Tapi kali ini tidak.
Han
Chae tergeming untuk beberapa saat. Merasa perlu mencari tahu, ia memaksakan
kedua kakinya melangkah. Begitu keluar kamar, ia pun segera turun ke lantai bawah.
Matanya jelalatan mencari sosok Eomma
tapi hasilnya nihil. Tak ada Eomma, tak ada pegawai, tak ada suara
adonan mie, tak ada siapapun di lantai bawah, bahkan tanda-tanda kedai akan
buka pun tak ia temukan. Han Chae Hee semakin diliputi tanda tanya.
"Kamu
sudah bangun, Han Chae Hee?"
Han
Chae Hee terkejut dan segera menoleh ke belakang. Eomma sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri dengan
mengenakan baju bagus. "Hm," jawab Han Chae Hee singkat.
"Kalau
begitu, cepat kemasi barangmu. Kita harus pergi. Bawa baju seperlunya
saja," perintah Eomma tanpa
basa-basi.
"Memangnya
kita mau ke mana? Kenapa kau selalu membuat aturan sendiri?" Saking
sebalnya, Han Chae Hee menyebut Eomma
dengan sebutan kau.
Melalui
sorot mata, Eomma memberikan isyarat
agar anak semata wayangnya itu tak usah banyak bertanya. Pada dasarnya, Han
Chae Hee adalah anak yang penurut. Begitu melihat sorot mata lelah Eomma, hatinya pun luluh. Ia segera naik
kembali ke atas menuju kamarnya dan mengemasi pakaian musim dingin seperlunya
saja.
Setibanya
di lantai bawah, Han Chae Hee semakin dibuat tak mengerti. Mobil sedan berwarna
hitam sudah terparkir di depan rumah. Mobil siapa yang dipinjam, ia tak tahu. Yang ia tahu adalah
semenjak kecelakaan yang menimpa ayahnya, Eomma
benci berkendaraan.
***
Han
Chae Hee tercenung. Ia merasakan seperti dejavu.
Meski pembangunan sudah semakin pesat, memori otaknya bisa mengingat bangunan
yang barusan dilaluinya adalah Seoul Arts Center.
"Sebenarnya
kita mau kemana?"
Terjawab
sudah. Begitu mobil berbelok memasuki wilayah elit Cheongdamdong, ia pun tahu
kemana Eomma membawanya.
Han
Chae Hee seolah merasakan transisi dari dejavu
ke mimpi.
"Turun!"
Perintah Eomma.
Eomma
membuka gerbang. Han Chae Hee tidak tahu Eomma
mendapatkan kunci dari mana sebab setahunya rumah ini telah disewakan. Dari
gerbang, mereka melewati taman yang begitu luas. Sebagai arsitek, ayahnya
membangun rumah dengan begitu tertata. Rumput hijau membentang, kolam dengan
air memancur, lalu dua buah ayunan di bawah pohon rindang masih terletak di
tempatnya. Han Chae Hee hanya bisa menghela napas ketika puing-puing kenangan
masa kecilnya itu kembali menghiasi benaknya.
Eomma
mengambil kunci dari tas tangannya. Setelah pintu besi dibuka, ia menekan sejumlah
angka sebagai kode pengaman rumah. Tak lama, pintu utama rumah itu terbuka.
Setelah
masuk, Han Chae Hee hanya memandang takjub dengan apa yang ada di dalamnya.
Letak sofa, lemari-lemari, furniture, semua masih sama seperti yang diingatnya.
Rupanya Eomma membiarkan kenangan itu
tetap pada letaknya. Namun tiba-tiba hatinya miris ketika melihat dinding di
ruang keluarga yang kosong. Matanya yang takjubpun meredup.
"Penyewa
rumah ini sedang berlibur ke Prancis." Jelas Eomma tanpa diminta.
"Ohh,"
jawab Han Chae Hee singkat, lalu membiarkan Eomma
memasuki ruangan yang menjadi kamarnya dulu.
Sama
dengan Eomma, Han Chae Hee pun
melangkahkan kakinya menuju lantai atas, kamarnya. Dan dugaanya tepat. Tak ada
yang berubah dari kamarnya.
"Sudah
berapa tahun aku tidak ke sini?" gumam Han Chae Hee lirih sambil
mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ia kemudian duduk di kasurnya yang tak
lagi sesuai dengan ukuran tubuhnya lalu mengusapnya pelan. Air mata bergulir di
pipinya tanpa diminta. Namun segera dihapus begitu mendengar derap langkah
mendekat.
Terlihat
Eomma datang. Di tangannya,
tergenggam sebuah benda berwarna hitam. Han Chae Hee menatap nanar benda itu.
"Aku
tahu, cepat atau lambat keteguhan hati ini akan meluluh juga," kemudian Eomma duduk di samping Han Chae Hee.
"Dan, mungkin inilah saat yang tepat."
Han
Chae Hee tak berkata, lewat sorot matanya, ia memandang Eomma penuh tanya.
"Ini
...," Eomma menyodorkan benda
hitam itu ke arah Han Chae Hee. "Ambillah."
Kedua
tangan Han Chae Hee mengambil benda itu dari Eomma dan membukanya. Sebuah biola.
"Kau
mirip sekali dengan ayahmu." Eomma
menatap Han Chae Hee penuh kelembutan. "Kau kira Eomma tidak tahu kalau kau diam-diam sering menonton acara musik di
televisi? Kau diam-diam menyukai alat musik biola, ingin membelinya, ingin
memainkannya. Dan, selama ini bukannya Eomma
melarangmu. Bukan! Hanya saja, Eomma
masih trauma atas meninggalnya ayahmu."
"Aku
mengerti kok, Eomma." Desis Han
Chae Hee.
"Tidak.
Kau belum mengerti mengapa Eomma
setrauma itu."
"Maksud
Eomma?"
Eomma
terdiam. Ia memikirkan cara untuk menyampaikan kebenaran. "Apa yang kau
ketahui tentang penyebab kematian ayahmu?"
Han
Chae Hee menatap Eomma lama, kemudian
satu kata meluncur dari bibirnya. "Kecelakaan."
"Geurae[10].
Kecelakaan. Tapi, apakah kau tahu penyebab kecelakaan itu?"
Han
Chae Hee menggeleng lemah.
Eomma
memaku tatapannya pada langit-langit kamar. Sejenak menghirup napas, ia lantas
memulai ceritanya. "Beberapa hari sebelum kecelakaan, mengetahui bakat
terpendam ayahmu, sahabat ayahmu mengenalkannya kepada violinis asal Jerman. Violinis
itu menyukai ayahmu dan mengajaknya gabung di pertunjukkan besar di Korea. Tak
tanggung, Sophie Anne Mutter, violinis wanita terkenal dari Jerman itulah yang
akan dijadikan partner duet dengan ayahmu. Saking antusiasnya, tender yang
seharusnya dijalankan malah diabaikan hingga kakekmu marah besar. Dan tepat di
hari pertunjukkan, saat itu juga tanda tangan tender harus dilakukan."
Eomma
menjeda ceritanya untuk mengusap air mata yang jatuh begitu saja. Han Chae Hee
mendengar seksama cerita sambil memeluk biola.
"Kakek
dan ayahmu beradu mulut. Namun ayahmu lebih memilih impiannya. Ayahmu pergi
menuju tempat pertunjukkan. Sayangnya di tengah jalan, ayahmu mengalami
kecelakaan. Mobil rusak, nyawa ayahmu menghilang, tapi herannya, benda yang
kini berada di tangamu itu utuh tanpa lecet."
Akhirnya
Han Chae Hee tahu alasan mengapa Eomma
membenci biola.
Eomma
kembali mengusap air matanya lalu mengubah posisi tubuhnya hingga berhadapan lurus
dengan Han Chae Hee. Tangannya terjulur, direngkuhnya pundak anaknya itu.
"Han Chae Hee, Eomma rasa,
ayahmu menginginkan kau melanjutkan impiannya."
"Eomma ..." panggil Han Chae Hee
lirih. Matanya tergenangi kristal bening.
"Eomma
sudah bilang ke penyewa rumah kalau kita akan kembali menempati rumah ini dan
mereka tak keberatan. Eomma juga
sudah memikirkan ke mana kau akan melanjutkan kuliah. Di Seoul, Eomma yakin segalanya akan jauh lebih
mudah dan lebih baik."
Han
Chae Hee tak kuasa menahan rasa di hatinya. Ia berangsur memeluk Eomma.
"Maafkan
Eomma, Han Chae Hee. Maafkan Eomma yang sudah egois."
Di
pelukan Eomma yang hangat, Han Chae
Hee menggenggam kuat biola di tangannya. Dan dalam hatinya, ia bertekad akan
melanjutkan impian ayahnya.
[1]
Eomma : Ibu
[2] Ne
: Iya.
[3]
Kimchi Stew atau yang
disebut juga Kimchi jjigae adalah sup asam pedas khas Korea dengan isinya
berupa kimchi, tahu, duan bawang, daging babi dan seafood.
[4]
Daebak : Keren, wow, awesome
[5]
Johwa : baiklah
[6]
Arrattji? : Mengerti, oke
[7]
Aiseukeurimeul moggoyo : Makan Es Krim
[8]
Wae : mengapa?
[9]
Hwaiting : Semangat!
[10]
Geurae : Iya, begitu. That's right
No comments:
Post a Comment